Delegasi Amirul Hajj: Gudang Ilmu, Toleran, Juga Suka Humor

By Admin

nusakini.com--Keberadaan ‘’amirul hajj’’, atau orang yang ditunjuk menjadi pemimpin jemaah haji, sudah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW. Amirul hajj pertama dalam Islam, seperti dicatat oleh sejarawan Mesir Muhammad Haekal, adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mertua Rasulullah ini ditunjuk menjadi amirul hajj pada tahun 9 Hijriah. Nabi memberi tugas kepada Abu Bakar untuk menyapu bersih Masjid Haram dari sisa-sisa orang Arab jahiliyyah yang di tahun itu masih tawaf dan sa’i telanjang bulat.  

Penting dicatat bahwa di zaman jahiliyyah, orang-orang Arab baik lelaki maupun perempuan tawaf telanjang bulat. Mereka berpendapat bahwa saat menyembah Allah, seseorang harus bersih lahir dan batin. Baju yang mereka pakai sangat mungkin kotor atau terkena najis. Karena itu, mayoritas mereka beribadah di sekeliling Kabah dalam kondisi bugil. Di tahun kesembilan hijriah itulah Abu Bakar dan umat Islam ditugaskan menyapu bersih mereka yang masih bugil dengan memberi mereka pakaian ihram.  

Jika tugas amirul hajj di masa Rasulullah adalah membersihkan Ka’bah dari pornoaksi, tugas amirul hajj Indonesia adalah memberi kenyamaan lahir dan batin bagi 221.000 jemaah haji asal Indonesia yang berhaji tahun 2018 ini. Kenyamanan lahir adalah terwujudnya akomodasi yang manusiawi, transportasi yang memadai, juga makanan bergizi; sedang kenyamanan batin adalah terpenuhinya bimbingan dan praktek manasik haji yang buat sebagian besar masih dirasa ‘’njelimet’’.   

Delegasi amirul hajj Indonesia untuk 2018 dipimpin oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Dua wakilnya diambil dari unsur ormas terbesar di Indonesia: KH Yahya Cholil Staquf (Katib Aam PBNU) dan KH Dadang Kahmad (Ketua PP Muhammadiyah). Sekretarisnya adalah Prof. Dr. KH Muhammad Isom (Kemenag), dibantu dua staf: Khoirul Huda Basyir dan Abdullah Faqih (Kemenag). Anggotanya lagi-lagi dipilih dari berbagai unsur yang ada, mulai dari Masduki Baidlowi (Ketua MUI), Ahmad Sadeli Karim (Ketum PB Mathlaul Anwar), Habib Ahmad bin Muhammad Al-Attas (Ketua Maktab Daimi Rabithah Alawiyyah), KH Jeje Zainuddin (Wakil Ketum Persis), KH Rusli Effendi (Sekretaris PB Al-Washliyah), KH A. Zaini Mawardi (Katib Aam JATMAN), KH Masjured Munawir (YPI Al-Muttaqien), dan Agus Sartono (Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan).  

Nama, jabatan dan asal organisasi anggota delegasi penting ditulis di sini agar orang bisa melihat bahwa gerbong yang sedang digadang-gadang oleh Menteri Agama ke Saudi Arabia itu sesungguhnya adalah segudang orang berilmu dan berwawasan luas. Bahkan dari beberapa contoh di bawah ini nantinya akan terlihat mereka sesungguhnya juga tokoh-tokoh toleran, berwawasan kebangsaan, juga penuh humor. Lihat saja fiqih haji yang penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat ulama. Jika tak menguasai mazhab-mazhab fiqih haji, tak mungkin seseorang ditunjuk menjadi anggota delegasi amirul hajj. Ini saja sudah menjadi indikator keluasan ilmu para anggota delegasi itu.  

Selama di Makkah, para anggota delegasi itu dijadwalkan mendatangi jemaah di hotel-hotel, mewakili amirul hajj yang tak mungkin mendatangi mereka ke setiap hotel. Mereka diminta menyerap aspirasi jemaah tentang pelaksanaan haji dan tingkat kepuasan mereka atas fasilitas yang tersedia. Mereka juga diminta berceramah tentang berhaji yang baik, menjadi tamu Allah yang sopan, juga menjadi tamu yang tahu diri di negeri orang. Terlalu naif, misalnya, mengaku menjadi tamu Allah tapi berkampanye politik di tanah suci. Padahal, tanah suci dan ibadah haji mestinya mempersatukan sekat-sekat kebangsaan yang terkoyak seraya menghapus perbedaan suku dan etnis di antara semua anak bangsa.   

Saat tampil bersama saya di hadapan jemaah Sektor 6 Makkah, misalnya, KH Rusli Effendi menampilkan kualitasnya sebagai anggota delegasi yang piawai membuat pantun-pantun kebangsaan dalam hitungan detik. Awalnya dia menduga mayoritas jamaah di hadapannya adalah orang-orang Riau. Sekretaris PB Al-Washliyah ini dengan percaya diri lalu menyampaikan pantun yang intinya memuji orang Melayu sebagai etnis yang sangat cinta kebangsaan. Tapi, beberapa jamaah yang datang dari etnis lain—Sunda, Jawa, juga Bugis—berebut angkat tangan sambil berkata bahwa suku mereka juga cinta kebangsaan. Maka, dalam hitungan detik, sekretaris BPP Masjid Istiqlal ini buru-buru membuat pantun yang intinya memuji etnis-etnis itu dan cinta mereka pada keindonesiaan. Simak pantunnya yang dia buat secara mendadak di hadapan jemaah:  

Bukan linggis sembarang linggis 

Tapi linggis terbuat dari kayu

Bukan Bugis sembarang Bugis

Tapi Bugis yang sudah jadi Melayu.

Betapa anggota delegasi amirul hajj bukan hanya berwawasan kebangsaan yang luas tapi juga sangat toleran pada perbedaan terlihat ketika panitia penyelenggara haji meresmikan satu rumah baru untuk dijadikan kantor daerah kerja (Daker) Makkah. Kantor lama sudah sangat lusuh, tak elok untuk terus dijadikan tempat kerja. Menag Lukman memberi nama kantor baru ini ‘’Al-Mabrur’’. Nah, saat gedung ini diresmikan, Ahad (12/08) lalu, banyak undangan datang termasuk beberapa warga Makkah, pemilik rumah yang disewa. Di tengah acara saya sungguh kaget ketika Prof. Dr. Muhammad Attamimy, atas seizin panitia, membacakan ‘’Ratib Haddad’’—bacaan tahlil karangan Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad.  

Sebagai orang yang menggemari etnografi, saya perhatikan benar apa reaksi orang-orang Arab itu ketika ‘’Ratib Haddad’’ dibacakan di bumi Makkah yang beraliran Wahabi. Benar saja, ketika doa dibacakan dan alfatihah disampaikan untuk ‘’ruh ulama ini’’ atau ‘’ruh ulama itu’’ sebagaimana sering kita dengar jika ‘’Ratib Haddad’’ dibacakan, saya lihat hampir semua anggota delegasi amirul hajj yang duduk di panggung mengangkat tangan dan membaca amin, kecuali orang-orang Arab Makkah itu yang malam itu datang dengan baju kebesaran mereka layaknya raja-raja minyak.  

Tapi, apakah hanya orang-orang Arab Makkah itu yang diam saja tak baca ‘’amin’’ apalagi angkat tangan saat doa tahlil dibacakan? Ahaaaaa, lihat lagi nama-nama delegasi amirul hajj di atas. Mudah ditebak siapa lagi kira-kira di antara mereka yang juga tak angkat tangan dan baca ‘’amin’’!  

Namun demikian, usai acara, tak ada protes atau keberatan apa pun atas dibacakannya ‘’Ratib Haddad’’ di wisma baru tadi. Para delegasi amirul hajj atau Arab-arab Makkah yang hadir dalam acara itu dan mungkin tak nyaman dengan bacaan ‘’Ratib Haddad’’ tampak biasa saja, sama sekali tidak protes. Bahkan mereka menunjukkan diri sebagai tokoh bangsa yang berwawasan luas. Mereka tak mudah emosional hanya gara-gara perbedaan kecil. Untuk apa marah? Masyarakat Indonesia, apalagi menjelang Pemilu tahun depan, mestinya mencontoh jiwa besar para delegasi amirul hajj itu ketika nanti mereka berbeda paham dalam memilih calon presiden!  

Empat hari mengikuti rombongan amirul hajj ke Madinah dan Jeddah, saya juga jadi tahu bahwa mereka ternyata suka humor. Humor membuat mereka selalu ceria, tak mudah marah ketika berbeda pikiran, bahkan ketika perbedaan itu tajam sekalipun.  

Simak cerita tentang KH Yahya Cholil Staquf saat melakukan visitasi ke Sektor 6 bersama saya. Untung saat itu tak banyak jemaah yang ‘’ngeh’’ bahwa Katib Aam PBNU ini pernah populer gara-gara kunjungannya ke Israel baru-baru ini. Karena itu, alih-alih bertanya tentang Israel, satu jemaah asal Madura malah nyaris teriak-teriak menyampaikan protesnya kepada amirul hajj bahwa obat di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) tidak lengkap. Dia lalu menyebut nama obat di Indonesia dengan merek tertentu yang disebutnya tak ada di KKHI. Tapi, saat itu Gus Yahya meresponnya santai saja. Saya berpikir saat itu visitasi anggota delegasi amirul hajj tidak serius, hanya formalitas belaka.   

Dugaan saya salah. Saat rapat dengan KKHI Madinah yang dipimpin Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin, Gus Yahya mempertanyakan ketiadaan obat yang pernah dipertanyakan jemaah asal Sampang itu. Wakil amirul hajj ini ternyata benar-benar menyerap aspirasi jemaah yang dikunjunginya. Oleh dr. Yanuar Fajar, pertanyaan Gus Yahya itu dijawab bahwa obat-obatan yang dibawa Kementerian Kesehatan ke Arab Saudi sangat lengkap, hanya saja tidak semuanya membawa merek yang terkenal di Indonesia, semisal Panadol, Bodrex, Decolgen, atau Paramex.  

‘’Kalau saja jemaah tahu bahwa obat yang kami berikan tanpa merek itu sebenarnya mengandung apa yang dikandung obat yang mereka kenal, mereka pasti tidak marah,’’ kata Yanuar meyakinkan Gus Yahya. ‘’Tapi susah Pak Menteri, mereka kadung tersugesti kalau bukan minum Paramex, misalnya, demam mereka gak baek-baek, sakit kepala mereka gak baek-baek.’’  

Mendengar kata ‘’Paramex’’ tiba-tiba Menteri Agama yang memimpin rapat langsung mengambil alih penjelasan. Dengan nada meyakinkan dia katakan kita semua harus hati-hati dengan orang Indonesia yang fanatik dengan Paramex. Biasanya mereka selalu membawa obat itu di kantong baju.  

‘’Nah, kalau kebetulan orang yang fanatik Paramex ini dikasih air panas, padahal dia ingin buru-buru minum, dia masukkan Paramex itu ke dalam air panas di gelas tadi,’’ jelas Menag dengan serius di hadapan peserta rapat.  

‘’Lho, kenapa begitu Pak Menteri,’’ tanya dr. Yanuar spontan dengan mata mendelik.  

‘’Kan Paramex obat penurun panas.... ‘’  

Ha-ha-haaaaa..... (Helmi Hidayat, Konsultan Ibadah, PPIH Arab Saudi)